![]() |
Peserta Akademi Muballighah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur |
Nasyiahjatim.or.id—Nasyiatul Aisyiyah, sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang fokus pada ranah dakwah dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mengemban amanah krusial dalam membentuk generasi muslimah yang berpengetahuan luas, berakhlak mulia, serta memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.
Guna merealisasikan perannya tersebut, Nasyiatul Aisyiyah memerlukan kader-kader yang cakap dalam menyampaikan risalah agama, terutama dalam konteks perempuan dan keluarga.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sosok muballighah yang memiliki wawasan keislaman yang mendalam, kemampuan berkomunikasi yang efektif, serta pemahaman yang komprehensif terhadap dinamika tantangan dakwah masa kini.
Kondisi inilah yang menjadi landasan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur menyelenggarakan Akademi Muballighah pada hari Sabtu, (22/03/2025) di Pondok Pesantren Internasional Abdul Malik Fadjar (AMF) Malang.
Kegiatan ini menandai hari keempat penyelenggaraan dan menjadi momen tatap muka perdana bagi para peserta, setelah sebelumnya mengikuti rangkaian acara secara daring melalui platform Zoom Meeting selama tiga hari.
Dalam forum Akademi Muballighah tersebut, Idaul Hasanah menyampaikan pandangannya bahwa pengalaman atau jam terbang memiliki pengaruh signifikan bagi seorang muballigh.
"Frekuensi tampil di hadapan publik berkorelasi positif dengan kematangan penyampaian," tuturnya.
Ia juga mengawali pemaparannya dengan mengamati bahwa proses regenerasi muballigh pria cenderung lebih mudah dibandingkan dengan muballigh wanita.
Menurut Wakil Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (FAI UMM) ini, saat mengupas materi ushul fikih sebagai alat analisis problematik ikhtilafiyah, ushul fikih didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip fundamental dalam menetapkan hukum Islam.
Ilmu ini menjadi fondasi esensial bagi para ulama dalam menggali dan merumuskan hukum yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi).
Di sela-sela sesi tanya jawab dengan peserta, Ida turut menjelaskan bahwa menurut perspektifnya terdapat perbedaan antara ushul fikih dan fikih. Perbedaan tersebut terletak pada fokus kajiannya, di mana fikih merupakan ilmu yang mengulas hukum-hukum Islam yang bersifat aplikatif, seperti tata cara ibadah salat, zakat, dan transaksi jual beli.
Sementara itu, ushul fikih adalah ilmu yang mengupas metode atau cara dalam mengekstraksi hukum-hukum tersebut dari sumber-sumbernya.
Aspek lain yang penting untuk dipahami dalam ushul fikih adalah fungsi ushul fikih, yaitu sebagai pedoman dalam memahami dan menetapkan hukum Islam, memfasilitasi penggalian hukum untuk isu-isu kontemporer yang belum eksis pada era Nabi, serta menjaga harmonisasi hukum Islam dengan perkembangan zaman tanpa menyimpang dari prinsip-prinsip syariat.
Ia melanjutkan penjelasannya bahwa ushul fikih memiliki urgensi yang tinggi bagi siapa pun yang berkeinginan untuk memahami hukum Islam secara mendalam, khususnya bagi kalangan ulama, hakim, dan cendekiawan Muslim dalam menetapkan hukum yang selaras dengan tuntunan syariat.
Lebih lanjut, masih dalam pembahasan materi yang sama, Ida mengemukakan bahwa ushul fikih memegang peranan yang sangat krusial dalam memahami, mengeksplorasi, dan menetapkan hukum Islam secara tepat dan sistematis. Ilmu ini menjadi fondasi utama bagi para ulama dan pakar hukum Islam dalam merumuskan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Berikut adalah beberapa alasan yang menggarisbawahi betapa pentingnya ushul fikih.
Pertama, Ushul Fikih menyediakan kaidah dan metode dalam menginterpretasikan dalil-dalil hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, ijma', dan qiyas. Dengan adanya ilmu ini, seseorang tidak akan sembarangan dalam menarik kesimpulan hukum tanpa pijakan yang jelas.
Kedua, tanpa pemahaman ushul fikih, seseorang berpotensi melakukan kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an atau hadis. Sebagai contoh, terdapat ayat yang bersifat umum, khusus, mutlak, atau muqayyad (terikat). Dengan menguasai kaidah dalam ushul fikih, seseorang dapat menetapkan hukum secara akurat.
Ketiga, dalam dinamika kehidupan modern, muncul beragam persoalan baru yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah saw., seperti regulasi transaksi digital, etika teknologi medis, atau kebijakan ekonomi Islam. Ushul fikih menawarkan metodologi bagaimana hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa keluar dari koridor prinsip syariat.
Keempat, ushul fikih mengajarkan pola pikir yang sistematis dalam memahami agama. Dengan ilmu ini, umat Islam dapat terhindar dari pemahaman yang ekstrem, baik yang terlalu kaku (tekstual) maupun yang terlalu liberal.
Kelima, meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam ranah fikih, pemahaman terhadap ushul fikih memungkinkan umat Islam untuk menyikapi perbedaan tersebut dengan lebih bijaksana. Ushul fikih membantu menjelaskan alasan di balik perbedaan pendapat para ulama, sehingga tidak mudah untuk menyalahkan pandangan yang berbeda.
Keenam, dengan adanya kaidah-kaidah dalam ushul fikih, kemurnian hukum Islam tetap terjaga dari distorsi dan tidak berubah hanya karena mengikuti hawa nafsu atau kepentingan personal.
Ida menyimpulkan bahwa ushul fikih memiliki signifikansi yang tinggi bagi siapa pun yang ingin memahami dan mengimplementasikan hukum Islam dengan benar. Ilmu ini tidak hanya diperuntukkan bagi para ulama, tetapi juga bagi setiap Muslim agar lebih arif dalam memahami ajaran Islam dan tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman yang keliru.
Reza Rachmatika