Dinamika Fikih Muhammadiyah: Tajdid Menjawab Tantangan Zaman

Abidah Ummu Azizah saat menyampaikan materi pada salah satu sesi Akademi Muballighah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur 

nasyiahjatim.or.id
"Bagian pembaruan ini tidak semua ormas keagamaan miliki. Ada anggota ormas yang menolak membayar pajak. Ketika ditanya alasannya, jawabannya simpel, ‘Di zaman Nabi Saw. tidak ada.’ Kalau ingin mengikuti zaman Nabi, ya sekalian saja naik unta ke mana-mana. Mau naik motor, tapi tidak mau bayar pajaknya. Kan lucu," ujar Ustazah Abidah dalam sesi materi Dinamika Fikih Muhammadiya.

Abidah Ummu Azizah hadir sebagai narasumber keempat dalam acara Akademi Muballighah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur pada Sabtu (22/03/2025) siang.

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menjelaskan definisi serta karakteristik produk tarjih, fungsi Majelis Tarjih dan Tajdid, dan kerangka manhaj tarjih.

Ia juga menguraikan sumber ajaran Islam yang menjadi dasar tarjih Muhammadiyah, yaitu Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber utama, serta ijmak, qias, mashlahah mursalah, istihsan, istishab, saddudz dzari’ah, fatwa sahabat, ‘urf, dan syar’u man qablana.

Dalam pemaparannya, ia juga membahas wawasan keagamaan Muhammadiyah. Pertama, wawasan tentang pemahaman agama. Konsep addīn, menurut Naquib Al-Attas, memiliki dua aspek utama. "Pertama, keberhutangan. Ibaratnya, kamu berhutang kepada Allah, maka sudah seharusnya kamu merasa memiliki kewajiban menjalankan perintah-Nya."

Kedua, ketundukan. Menurutnya, seseorang yang tidak beragama akan kesulitan mematuhi aturan. Ia mencontohkan pernyataan seorang YouTuber, Indah G, yang mengangkat isu aborsi dengan dalih bahwa setiap perempuan berhak melakukannya karena janin yang diaborsi bukanlah manusia, melainkan sekadar embrio. 

"Dalam Muhammadiyah, aborsi hanya diperbolehkan jika ada keterangan ahli, seperti dari pihak medis atau kepolisian," tegasnya.

Ia menekankan bahwa sumber utama dalam tarjih Muhammadiyah adalah Al-Qur’an dan Hadis, didukung oleh perspektif dan kias. Dalam wawasan tajdid (pembaruan), ia menyinggung tentang eutanasia yang juga menjadi isu kontemporer. Muhammadiyah, melalui Pusat Kesengsaraan Umum (PKU), secara tegas menolak praktik eutanasia.

Wawasan berikutnya adalah toleransi. Toleransi, menurutnya, harus didasarkan pada pemahaman asal-usul ibadah yang kita lakukan, seperti tarawih 11 rakaat. Kemudian, wawasan keterbukaan, misalnya dalam isu poligami.

"Dulu Muhammadiyah memperbolehkan poligami. Namun, seiring perkembangan zaman, Muhammadiyah kini memutuskan bahwa poligami adalah ghairu masyru’ (tidak disyariatkan)."

Selain itu, Muhammadiyah tidak berafiliasi pada satu mazhab tertentu, bukan berarti mengabaikan pendapat ulama, tetapi mempertimbangkannya secara kritis, terutama ketika tidak ada dalil yang sharih (jelas).

Sementara itu, wawasan wasathiyah (moderat) tidak berarti bersikap longgar terhadap akidah. "Misalnya, mengatakan bahwa semua agama itu benar. Itu bukan sikap wasathiyah, tetapi pluralisme," ujarnya.

Contoh lain, seorang ibu hamil di trimester pertama yang lemah tetapi tetap memaksakan puasa tanpa mengambil rukhshah (keringanan) hingga menyiksa diri. "Itu termasuk sikap ekstrem," jelasnya.

Mahasiswa doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga menguraikan tugas Majelis Tarjih dan Tajdid. Menurutnya, dalam menyusun Fikih Lingkungan, Muhammadiyah tidak hanya melibatkan ahli agama, tetapi juga para pakar ekologi.

Ia menambahkan bahwa hasil riset Scopus menunjukkan bahwa salah satu faktor dominan dalam kerusakan lingkungan global adalah peran agama yang hanya menekankan kesalehan sosial, tetapi kurang peduli terhadap lingkungan sekitar.

Muhammadiyah memiliki tiga pegangan utama dalam tarjih: putusan, fatwa, dan wawasan. "Putusan terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) jilid 1 dan 3, fatwa dikeluarkan setiap tahun sesuai isu aktual, sedangkan wawasan merupakan opini dari kader-kader Muhammadiyah," ungkapnya.

Sebagai penutup, ia menekankan pentingnya kecerdasan dan integritas seorang muslimah. "Seorang ibu harus pintar dan memiliki marwah sebagai seorang muslim. Misalnya, jika anak ibu meminta izin untuk merokok vape, jangan langsung bilang Muhammadiyah mengharamkan rokok.

Sebaiknya jelaskan bahwa secara bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual), tidak ada kemaslahatan dalam merokok. Itu lebih elegan dan berbobot," pungkasnya.

Fikih, lanjutnya, bukan hanya sekadar menyampaikan hukum halal dan haram, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologi, sosiologi, dan biologi.

"Pendekatan fikih harus dimulai dari nilai dasar seperti tauhid, shidiq, adil, dan kepedulian. Lalu, dilanjutkan dengan prinsip umum, seperti keterbukaan, rasionalitas, dan proporsionalitas dalam informasi. Barulah dari sana lahir peraturan hukum konkret," tutupnya.

Erfin Walida Rahmania

(Erfin)