Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa perempuan dan
laki-laki setara di hadapan Allah. Nilai-nilai
kesetaraan tersebut bersifat qot’i dan mengikat untuk menjadi landasan utama
membincangkan relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam.
Bicara tentang gender dalam islam, sebetulnya tak perlu
berspekulasi macam-macampun sudah jelas disebutkan dalam al-qur’an maupun
hadits bahwa islam sangat memuliakan wanita.Tapi herannya hingga saat
ini pelecehan, kekerasan dan segala sesuatu yang melemahkan derajat wanita
masih saja terjadi. Maka kemudian gerakan-gerakan perempuan dalam islam
sebetulnya mempunyai niat untuk mengembalikan semangat keadilan dan kesetaraan
dalam islam tersebut. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Alimatul Qibtiyah,
ketua LPPA PPA pada pelatihan virtual Paralegal Dasar PWNA Jawa Timur (08/01/2022).
Seperti
kita tahu perjuangan rasulullah sangat luar biasa. Ketika di zaman jahiliyah kaum
wanita kemanusiaannya dipertanyakan,
ibadahnya dipertanyakan, status posisinya dipertanyakan hingga kemudian
diberikan kedudukan yang sangat mulia dalam islam. Tapi karena hal-hal yang
sifatnya normatif ini kenyataannya tidak sedemikian rupa secara historis, maka muncullah
sekelomok gerakan yang berusaha agar wanita itu tetap mulia tidak hanya di teks
keagamaan tapi juga dalam kehidupan kesehariannya.
Dalam sebuah atsarnya Umar Bin Khattab berkata: ”Kami
semula tidak menganggap (terhormat, penting) kaum perempuan. Ketika Islam
datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru menyadari bahwa ternyata mereka
juga memiliki hak-hak mereka secara otonom di mana kami tidak bisa lagi mengintervensi”.
Luar biasa islam dalam memperhatikan kondisi dan situasi saat itu.
Prof.
Alim menyebutkan bahwa dalam islam sebetulnya laki-laki dan perempuan dalam
posisi yang setara. Tidak ada yang diunggulkan dan tidak ada yang direndahkan.
“Secara
universal prinsip kesetaraan gender dalam islam yaitu laki-laki dan perempuan
sama sama sebagai hamba Allah. Sebagai kholifah yaitu sama dalam penciptaan. Sama-sama
tergoda di surga serta sama-sama bertanggung jawab terhadap apapun yang telah
diperbuatnya”. Tuturnya.
Setelah
universalnya demikian lalu kenapa masih ada persoalan-persoalan?. Hal tersebut
sangat dipengaruhi dengan penafsiran agama. Anggota MTT PPM tersebut
menyebutkan dalam muhammadiyah setidaknya ada 3 pendekatan dalam memahami teks
agama yaitu bayani yaitu didasarkan padaTteks Keagamaan, Asbabul Nuzul, Asbabul
Wurud (Historical Approach) dan Comprehensive reading (hermeneutic).
Kemudian
yang kedua pendekatan burhani yaitu terkait data dan hasil kajian yang
bersumber pada keragaman pengalaman ummat.
“Burhani
terkait data dan hasil kajian, misalnya bagaimana pengalaman perempuan yang
banyak tersebut disertai hasil data riset yang ada”. Ujarnya.
Sedangkan
yang ketiga Irfani yaitu dengan memperhatikan
Spiritual Wisdom Penguatan aspek kemanusiaan. Menurutnya 3 hal tersebut
menjadi sangat penting untuk menganalisa teks-teks keagamaan atau isu-isu
gender yang ada.
Selain
itu yang tidak kalah penting adalah pemahaman yang komprehensif dan
kontekstual. Misalnya terkait dengan memahami al qur’an secara komprehensif dan
kontekstual bagaimana untuk mendapatkan the closest meaning, landasan bayani harus
dibaca secara komprehensif antara ayat satu dengan ayat lainnya.
“Misalnya
sebuah mobil ada waktunya ngegas ada waktunya ngerem. Ada ayat keberangkatan,
ada ayat antara dan ada ayat tujuan akhir”. Tuturnya.
Terakhir,
dirinya menyebutkan tipologi pemahaman keagamaan yaitu literal, moderat-progresif
dan liberal progresif. Kelompok literal ini apa adanya sebagaimana bayani. Moderat-progresif
dengan mengambil tengah, tidak ekstrim, berkemajuan, dinamis, kontemporer,
adaptif pada perkembangan ilmu dan aman, inklusif. Liberal-progresif mengutamakan
rasionalitas manusia, bebas, inklusif, skeptik terhadap narasi literal.
Prof
Alim menambahkan dokumen muhammadiyah tentang gender yaitu:
Berdirinya
aisyiyah dan NA menunjukkan bahwa muhammadiyah sangat mendorong potensi potensi
kemanusaan perempuan. Kemudian pada 1939 ada risalah tuntunan istri yang
berarti. Tahun 1954 dan 1955 dibahas batas aurat laki-laki dan hukum wanita
mengajar laki-laki dan sebaliknya. Pada 1976 ada adab al mar’at fi al islam
bolehnya perempuan menjadi hakim, wanita berpolitik. Tahun 1982, 1990 dan 2015 terbit
tuntunan menuju keluarga sakinah. 2010 dan 2021 dibahas fikih perempuan serta
fikih amaliyah laki-laki perempuan berperspektif muhammadiyah yang sedang
diusulkan menjadi adab al mar’at fi al islam 2.
-Ridia Septiria-